TUGAS MATA KULYAH ILMU SOSIAL DASAR
(Budaya Peresean)
disusun oleh:
HAERONI ( 010110a037 )
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO UNGARAN
TAHUN 2011
PENDAHULUAN
Dengan mengucap Alhamdulillah,segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa ,karena dengan nikmatnya,kita slalu dalam keadaan sehat walapiat tak kurang suatu apapun. Semoga Rahmat dan Hidayahnya selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.
Dalam tradisi ini,banyak sekali kita lihat tentang berbagai cara Perisean yang dilakukan diberbagai kota(desa) atau di NTB.Tradisi perisean NTB makin semarak perisean itu adalah suatu tradisi peninggalan dari nenek moyang untuk di lakukan sekali dalam setahun.Tradisi sperti ini tidak ada yang memandang orang itu dari segi fisik maupun bathinnya,tapi yang yang penting dia berani itu saja.tapi peresian juga merupakan seni bela diri dari masyarakat sasak dengan menggunakan rotan dan alat yang di buat dari kulit rusa betina yang bisa melindungi dari rotan (ende ) tersebut.Sebelum mulai pertandingan orang tersebut harus mandi terlebih dahulu dengan menggunakan ramoan yang sudah disediakan dari orang pintar supaya kalau kena dengan rotanm itu nggak merasakan sakit.
Somoga dengan Tradisi ini,kita dapat memahami budaya lain,walaupun ini tidak terlalu dalam,Kami akan sangat berterima kasih apabila nantinya ada kritik,saran,dan masukan demi sempurnanya pembahasan ini.
PERISAIAN
Posted on 2 September, 2009 by lombokasli
Perisaian adalah seni bela diri yang tradisi masyarakat Sasak dengan menggunakan sebatang rotan ( sasak ; penjalin ) sebagai senjata dan perisai berbentuk persegi empat terbuat dari kulit rusa atau kulit sapi betina (sasak; ende ) sebagai pelindung.
Keterampilan ini diregenerasikan secara alami oleh masyarakat sebagai sebuah permainan rakyat yang kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih terorganisir dalam bentuk event pertandingan yang diselenggarakan dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten sampai se-Pulau Lombok.
Permainan ini merupakan permainan yang dilaksanakan oleh lelaki remaja dan dewasa yang mengadu keterampilan bela diri dengan kemampuan permainan tongkat rotan dengan target utama mengenai kepala lawan. Permainan dikatakan selesai manakala ada di antara sepasang petarung dapat memukul lawan dibagian kepala ( dagu ke atas ) sampai meneteskan darah. Seseorang yang sudah memiliki ketrampilan yang baik akan diberi gelar “Pepadu” (petarung). Seorang petarung dengan kemampuan yang dimilikinya siap menerima lawan “tidak pandang bulu”. Untuk melahirkan seorang pepadu akan terseleksi secara alami ketika ia muncul sebagai pemenang dalam berbagai pertandingan.
Pepadu (petarung) dalam proses pembentukannya menjalankan latihan fisik dan spiritual. Latihan fisik umumnya dilaksanakan berkaitan dengan kegiatan fisik sehari-hari sebagai seorang petani, misalnya; mencangkul, menebang pohon, menebang pohon, membelah kayu, memanggul beban berat dll. Keterampilan memainkan tongkat rotan sebagai senjata diperoleh dari pembelajaran langsung ketika mereka menonton teknis pukulan yang dilakukan oleh papadu yang lebih senior pada saat event pertandingan atau datang berguru kepadanya. Dalam hal permainan tongkat rotan ini juga ada yang pepadu yang mencoba mengembangkan teknisnya dengan teknis permainan Cabang dan trisula pada bela diri silat. Kemapuan spiritual seorang pepadu di asah melalui pengisian spiritual oleh seorang guru spiritual melalui proses ritual yang diyakininya. Berkaitan dengan ini maka seni bela diri tradisional ini disebut PERISAIAN yang berasal dari kata “per-isi-an” bermakna mengisi ilmu kedigjayaan.
II. PERSIAPAN SESEORANG PETARUNG PERESEAN (PEPADU) KE ARENA
Persiapan yang dilakukan sebelum bertanding seorang pepadu mandi di persimpangan pertemuan dua aliran kali, mandi dengan air lingkok. (air yang didapat dengan membuat lobang kecil dipinggir sungai ) menggosokkan badan dengan dedaunan yang kasar . Proses pengisian ilmu ini disebut dengan “ Bejariq” bermakna memasukkan kekuatan magis ke dalam tubuh. Sebelum berangkat ke tempat berlaga Sang Pepadu akan dibersihkan pundaknya oleh ibunya dengan sapu yang dibuat dari “kroman” atau tangkai padi.
Beberapa pantangan dan penyebab kekalahan yang diyakini sebagai oleh Pepadu misalnya ; keluar bertanding saat ada kematian di kampungnya, mimpi mandi, melakukan hubungan suami – istri, melihat alat kelamin dan payudara wanita, bertemu dengan orang sumbing atau orang buta sebelah.
III. KAITAN PERESEAN DENGAN TRADISI MASYARAKAT ADAT SASAK – LOMBOK.
Perisaian juga digunakan dalam upacara “ ngayu-ngayu “ atau disebut juga dengan istilah “Nede” yakni upacara selamet mata air untuk memohon hujan. Upacara ini dilaksnaan dimusim kemarau dipimpin oleh seorang tokoh spiritual dalam tradisi sasak disebut “mangku”. Pemimpin upacara melakukan ruwatan dengan memetong hewan kurban baik berupa anyam, kambing atau sapi sebagai simbul persembahan kepada penguasa alam. Peserta upacara di ajak untuk memanjatkan doa bersama memohon agar penguasa alam menurunkan hujan agar supaya usaha pertanian mereka berhasil. Upacara dilanjutkan dengan makan bersama di sekitar mata air dengan hidangan yang ditata secara khusus dalam sebuah wadah bernama “Dulang Tinggang”, Wadah ini terbuat dari lempengan kayu yang memiliki satu kaki berbentuk pilar. Di dalam wadah ini disusun dengan rapi jenis makanan lauk pauk dan buah-buahan.
Setelah upacara berlangsung dilanjutkan dengan menampilkan perisaian oleh petarung / Pepadu yang berasal dari desa setempat. Arena permainan cukup dalam sebidang tanah yang lapang kira-kira 10 m2 (persegi) batas arena hanya ditandai oleh barisan penonton yang berhimpun. Biasanya pertarungan dilaksanakan oleh minimal tiga pasang petarung . Uniknya ketika salah satu dari petarung kena pukulan rotan dibagian kepala dan mengeluarkan darah (Sasak : Bocor ) , maka para penonton akan berteriak “ aiq, aiq, aiq ….. !!” yang berarti “ air, air, air …… !!!“ . Teriakan tersebut bermakna agar air segera diturunkan oleh Sang Maha Pencipta ke bumi.
IV. ASPEK TEKNIS PERESEAN
1. Pembagian Kelas
Petarung dalam peresean dibagi atas 3 kelas, kelas remaja, kelas dewasa dan kelas “Pepadu”. Pada kelas remaja disebut dengan kelas “pemula” atau “berajah/ngurukan” sedang kelas dewasa biasa disebut dengan “mete beneq” atau mencari bakal calon Pepadu/Petarung. Yang tertinggi adalah kelas “Pepadu” atau petarung mereka adalah para jawara yang sering mewakili wilayahnya untuk melakukan pertarungan dalam pertandingan di tingkat kabupaten maupun propinsi.
Beda antar kelas tersebut adalah jika kelas pemula dan dewasa biasa bertanding, petugas penyelenggara melakukan seleksi terhadap lawan tanding masing-masing pasangan pemain. Seorang “pekembar” / penimbang memberikan pertimbangan untuk meutuskan pasangan tanding atas dasar besar kecilnya postur badan dan usia. Sedang untuk kelas “Pepadu” mereka tidak perlu dicarikan lawan berdasarkan ukuran fisik maupun usia. Kelas ini di sebut dengan “Mate Tanding” artinya tidak pakai ukuran fisik maupun usia. Setiap orang yang bergelar “Pepadu” siap melawan siapapun tanpa pandang bulu. Mereka ini dianggap memiliki kemampuan teknis dan magic yang sudah mumpuni.
1. Arena dan perlengkapan.
Luas arena peresean disesuikan dengan besarnya tingkat kegiatan dengan perkiraan daya tampung penonton. Untuk arena laga dibutuhkan sekitar 12 m2 s/d 30 m2. Arena biasa dalam bentuk bujur sangkar atau persegi panjang. Secara hitungan magic arah ini kehadiran lawan dan posisi duduk para petarung bisa menentukan kemenangannya. Biasanya apabila satu group petarung hadir dalam arena, penasehat spiritualnya memberikan petunjuk dimana posisi mereka akan duduk pada Pepadunya.
Alat peresean terdiri dari :
1. Tongkat rotang dengan diameter 2 cm – 2,5 cm. dengan panjang 110 cm. Rotang-rotang ini dibuat berpasangan dengan kreteria sama panjang, sama besar dan sama kuat. Untuk sekali pelaksanaan kegiatan biasanya para penyelenggara menyiapkan sekitar 10 – 15 pasang. Rotan-rotan peresean tersebut dibentuk sedemikian rupa dengan lilitan benang kasur pada pangkal , tengah dan ujungnya agar tidak licin dan memberi efek pada pukulan.
2. Ende – atau tameng yang terbuat dari rangka kayu dan bambu dengan dilapisi kulit rusa atau kulit sapi betina. Ukuran ende biasanya 40 x 60 cm. Pada bagian tengah belakang diberikan alat pemegang dari kayu agar mudah di angkat dan digerakkan.
1. Penjurian
Petugas dalam pertandingan disebut : Wasit dan Pekembar.
Wasit bertugas untuk memimpin pertarungan dan menentukan aturan permainan serta memberikan keputusan kalah dan menang.
Pekembar : adalah pembantu wasit untuk mencari tandingan antar petarung. Pekembar berasal dari kata “kembar” diberikan awalan pe yang bermakan orang yang menjadikan kembar atau seimbang.
Petarung dikatakan menang apabila salah satu dari mereka mengeluarkan darah dari kepalanya, yakni bagian dagu ke atas. Dan darah yang dimaksud adalah yang mengalir, jika hanya terluka biasa belum dikatakan kalah. Jika tiadak ada yang terluka diantara keduanya disebut dengan “sapih” atau draw.
Wasit dapat mengehentikan pertandingan, apabila :
1.
1. Kondisi salah satu pemain sudah nampak sangat lemah.
2. Apa bila alat peresean terlepas sebanyak tiga kali.
3. Salah satu pemain menyerah disebut “ Nge Cop “
4. Busana pemain terlepas ( break) diberikan waktu untuk memasang kembali.
Lama permaian untuk kelas biasa 3 ronde untuk kelas Pepadu 5 ronde, masing-masing ronde sekitar 3 s/d 5 menit.
1. Penyelenggaraan.
Penyelenggaraan kegiatan peresean di Lombok biasanya dihubungkan dengan kegiatan bersifat ; tradisi ; misalnya ruwatan, ulang tahun kemerdekaan, dan event kepariwisatan.
Para penyelenggara bisa berbentuk kelompok / sanggar budaya, kepanitiaan yang dibentuk atas inisiatif masyarakata dan pemerintah. Kegiatan ini saat ini sudah banyak didukung oleh berbagai sponsor dari perusahaan, biasanya perusahaan rokok, Dealer sepeda motor dan telpon celluler.
Lama penyelenggarakan berlangsung dari 3 s/ 14 hari, pada masa lampau ada yang menyelenggarakannya sampai beberapa bulan berpindah dari satu tempat ketempat yang lain. Waktu penyelenggaraan umumnya pada masa habis panen kedua sejak bulan Mei s/d Oktober. Kegiatan ini biasanya dilakukan dengan jadwal dan lokasi yang sulit di perkirakan karena tergantung atas inisiatif dari masing lembaga maupun isntansi penyelenggara. Sampai saat ini belum ada asosiasi yang khusus menaunginya.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas bahwa setiap budaya atau daerah pasti berbeda dengan tradisi.ada yang memiliki berbagai macam perbedaan tradisi di Lombok maupun luar Lombok.di Jawa pasti adat istiadatnya berbeda,dari bahasa maupun dari lingkungan.Maka dari itu kita harus menghormati dan menghargai budaya orang lain,karena setiap daerah pasti berbeda-beda.
Tradisi peresean ini juga mengadu ilmu kejayaan atau bela diri yang dimiliki oleh setiap orang.Permainan ini juga di lakukan oleh lelaki yang dewasa atau remaja yang memiliki kemampuan fisik untuk bertarung dengan lawannya.
SUMBER:
http://lombokasli.wordpress.com/2009/09/02/perisaian/